Thursday, February 13, 2014
Legitimasi Konstitusional.Pemilu 2014
•
,•••••••••••••.•••••••••••••••••••••
!!!.••••••••••••••••••••
~••••••••••••••••••••••••••••••••••••
~•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••..••••••••••••••••••..••...•..••.•.
KOMPAS,
KAMIS,
6
FEBRUARI
2014
OPINI
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
Legitimasi
Konstitusional.Pemilu
2014
Oleh
ABDUL
HAKIM
G
NUSANTARA
P
P
ada
23
Januari
2014,
Mahkamah
Konstitusi
melalui
putusan
Nomor
14/PUU-XI/2013
menyatakan
sejumlah
pasal
UU
No
42/2008
tentang
Pemilu
Presiden
dan
Wakil
Presiden
bertentangan
dengan
DUD
1945.
MK
menegaskan
bahwa
amar
putusan
itu,
yang
antara
lain
menyatakan
pelaksanaan
pemilu
harus
dilaksanakan
serentak,
berlaku
bagi
penyelenggaraan
Pemilu
2019
dan
pemilu
seterusnya
Putusan
MK
ini
segera
mengundang
berbagai
tanggapan
dari
politisi,
pengamat
hukum,
dan
ahli
konstitusi.
Mereka
yang
pro
umumnya
rnenerima
dan
menyatakan
siap
menaati
putusan
bijak
itu.
Pihak
lain,
yakni
para
pengamat
dan
pakar
hukum
tata
negara,
memandangputusan
itujanggal.
Sebab,
pada
satu
sisi.
MK
menyatakan
sejumlah
pasal
dalam
Undang-
Undang
Nomor
42
Tahun
2008
bertentangan
dengan
DUD
1945,
yang
bermakna
penyelenggaraan
pemilu
anggota
DPR
dan
pemilihan
presiden
yang
tidak
serentak
atau
terpisah
bertentangan
dengan
DUD
1945.
Na-
mun,
pada
sisi
lain,
MK
menyetujui
penggunaan
pasal-pasal
yang
menyatakan
tak
punya
kekuatan
hukum
mengikat
itu
untuk
Pemilu
2014,
yang
mernisahkan
pemilu
anggota
DPR
dan
pemilu
presiden
(pilpres).
Dengan
.demikian,
menurut
para
pengamat
dan
pakar
konstitusi,
penyelenggaraan
Pemilu
2014
inkonstitusional.
Proses
penyelenggaraan
dan
hasil
Pemilu
2014
dijalankan
dengan
melanggar
DUD
1945.
ltu
berarti
Pemilu
2014
tidak
lagi
punya
legitimasi
konstitusional.
lnijelas
merupakan
isu
hukum
dan
politik
yang
serius.
Sebab,
legitimasi
di
sini
bermakna
penerimaan
keabsahan
otoritas
kekuasaan
negara
oleh
rakyat
dan
kerelaan
mereka
untuk
menaatinya
Tanpa
legitimasi
konstitusional,
tindakan
penguasa
tidak
sah
dan
rakyat
berhak
untuk
tidak
mematuhinya.
'
Isu
tiadanya
legitimasi
kon
stitusional
itu
selalu
dapat
digunakan
pihak-pihak
tertentu,
biasanya
pihak
yang
kalah,
untuk
menuntut
pembatalan
proses
dan
hasil
Pemilu2014
(legislatif
dan
pilpres).
Apabila
tuntutan
pembatalan
itu
diajukan
kepada
MK,
boleh
jadi
akan
ditolak
karena
menurut
penalaran
hukum
,MK,
pemilihan
se-,
rentak
anggota
legislatif
dan
presiden
baru
akan
terjadi
pada
2019.
Namun,
apa
yang
akan
terjadi
jika
gugatan
atas
legitimasi
konstitusional
pemilu
itu
didukung
oleh
sebagian
besar
masyarakat,
termasuk
(terutama)
parpolparpol
papan
atas
dan
tengah?
Jelas
hal
itu
dapat
mengguncang
stabilitas
politik
nasional
dan
institusi
demokrasi.
Tiga
konsep
legitimasi
Berkenaan
dengan
itu,
para
pakar
konstitusi
biasanya
merujuk
pada
tiga
konsep
legitimasi
untuk
menguji
adanya
legitimasi
konstitusional.
Pertama,
legitimasi
hukum,
yaitu
bahwa
tindakan
penyelenggara
negara
sesuai
dengan
norma
hukum
kon-'
stitusi.
Hal
ini
berarti
berbagai
tindakan
penyelenggara
negara,
baik
berupa
UU
maupun
lainnya,
yang
melanggar
konstitusi
secara
hukum
tidak
wajib
ditaati.
Kedua,
legitimasi
sosiologis,
yang
berarti
tindakan
atau
kebijakan
penyelenggara
negara
itu
dinilai
bermanfaat
dan
diterima
oleh
masyarakat
luas.
Ketiga,
legitimasi
moral,
yakni
bahwa
tindakan
dan
kebijakan
penyelenggara
negara
dil~
untuk
mencapai
tujuan
yang
da-.
pat
dibenarkan
secara
moral,
Misalnya,
mewujudkan
kehidupan
publik
yang
lebih
baik
atau
bentuk
keadilan
lainnya
Tiga
konsep
legitimasi
itu
berkaitan
satu
sarna
lain
menjadi
batu'
penguji
keberadaan
legitimasi
konstitusional.
Sebagaimana
dikatakan
RH
Fallon,
legitimasi
konstitusional
tidak
bersandar
pada
satu
batu
karang,
tetapi
ia
bersandar
pasir
yang
kadang
bergeser
(RH
I
Fallon,
2005:
1793).
'
paknya
memperoleh
sambutan
hangar
dari
parpol-parpol
papan
atas,
seperti
Golkar,
PDI
-P,
dan
Demokrat.
Itu
menunjukkan
putusan
MK
tersebut
memenuhi
kebutuhan
dan
kepentingan
hukum
sebagian
besar
masyarakat
politik
kita,
yang
berarti
terpenuhinya
legitimasi
sosiologis.
Ketiga,
putusan
MK
yang
memberlakukan
pemilu
dan
pilpres
serentak
pada
2019
di
dasarkan
pada
pertimbangan
untuk
menghindari
kekacauan
dan
ketidakpastian
hukum
penyelenggaraan
Pemilu
2014,
yang
persiapannya
sedang
berjalan.
ltu
berarti,
inenurut
MK,
derni
kemaslahatan
umum,
penyelenggaraan
Pemilu
2014
yang
tidak
se-,
rentak
adalah
sah
dan
konstitusional.
Syarat
legitimasi
terpenuhi
Tampaknya
yang
hendak
dituju
oleh
putusan
MK
tersebut
adalah
suatu
proses
perubahan
untuk
mewujudkan
penyelenggaraan
pemilu
dan
pilpres
serentak
derni
memperkuat
sistem
presidensial,
sistem
check
and
balance,
dan
efisiensi
biaya
demi
kesejahteraan
umum
dan
sebe
'
sar-besar
kemakmuran
rakyat
melalui
proses
konstitusional
tanpa
perlu
menimbulkan
keributan
besar.
Tujuan
ini
terang
dapat
diberiarkan
secara
moral.
,
Dengan
terpenuhinya
syaratsyarat
legitimasi
hukum,
sosiologis,
dan
moral,
tidak
ada
alasan
untuk
meragukan
legitimasi
konstitusional
Pemilu
2014.
Tantangan
terhadap
legitimasi
akan
muncul
jika
penyelenggaraan
pe
'
milu
dan
pilpres
penuh
kecurangan
yang
masif
dan
sistemik.
ABDUL
HAKIM
G
NUSANTARA
Ketua
KQmnas-HAM
2002-2007
Menggunakan
tiga
konsep
legitimasi
untuk
menguji
legi
timasi
konstitusional
penyelenggaraan
Pemilu
2014,
kita
akan
memperoleh
gambar
seperti
ini.
Pertama,
putusan
MK
tersebut
di
atas
disandarkan,
antara
la
,in,
pada
metode
penafsiran
original
intent,
yaitu
keterangan
anggota
DPR
yang
turut
dalam
proses
amandemen
DUD
1945.
Metodeini
pada
dirinya
bermasalah,
yaitu
anggota
DPR
.itu
tak
mewakili
pandangan
seluruh
anggota
DPR
yang
turut
dalam
proses
memutuskan
'
amandemen
DUD
1945.
Karena
itu,
sangat
boleh
jadi
apa
yang
diklaim
sebagai
original'
intent
itu
pendapat
pribadi
yang
bersangkutan.
Sangat
mungkin
anggota
DPR
lainnya
punya
pendapat
berbeda.
Sangat
mungkin
.pula
apabila
MK
menggunakan
metode
penafsiran
lain,
misalnya
pendekatan
konstitusi
sebagai
dokumen
hidup
(living
constitution)
yang
maknanya
terus
berkembang,
putusannya
akan
berbeda.
Dengan
demikian,
apa
yang
konstitusional
atau
tidak
adalah
pendapat
MK,
bukan
karena
,
DUD
1945
menyatakan
demikian.
Terlepas
dari
adanya
kontroversi
tersebut,
putusan
MK
itu
harus
diterima
karena
merupa-:
kan
kenyataan
hukum
(lex
lata),
di
mana
di
situ
dinyatakan
pemilu
dan
pilpres
serentak
akan
berlaku
2019.
Akibat
hukumnya
adalah
pemilu
dan
pilpres
(2014)
yang
tidak
serentak,
menurut
MK,
konstitusional.
Kedua,
putusan
M~
itu
tam-
Pengantar
Redaksi
TVRI
sebagai
lembaga
penyiaran
publik
tumbuh
semakin
kerdil,
Ini
karena
pemerintah
dan
DPR
membiarkan
TV
komersial
mendominasi
Indonesia
dan
melakukan
berbagai
intervensi
yang
justru
makin
memperpuruk
TVRI.
Kebijakan
pemerintah
pun
sering
bertentangan
dengan
UU
Penyiaran.
Baca
uraian
Sabam
Leo
Batubara,
Koordinator
Tim
Perancang
RUU
Penyiaran
1999-2000,
dalam
"Pemerintah
dan
DPR
Kerdllkan
TVRI"
di
Kompas
Siang,
Kamis
(6/2/2014).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment